Dongeng Cermin di Dinding
“Tak ada gunanya menjadi anak cantik jika hatimu tak baik,”jawab cermin itu tenang.
Reina memang cantik. Rambutnya cokelat tua, matanya bersinar-sinar, dan kulitnya pun halus sekali. Sayangnya, ia egois. Ia tak bisa melihat makhluk lain senang.
Reina sering sengaja menginjak sarang semut di halaman rumahnya. Ia juga sering memetik bunga-bunga yang masih kuncup. Yang paling parah, Reina sering mengejek teman-temannya. Ada saja yang dijulukinya si gendut, si ceking, si hidung melon, atau si rambut sarang burung.
Kini, Reina tak punya teman sama sekali. Ia kesepian, tetapi masih tak sadar juga. Satu-satunya temannya adalah cermin di dinding kamarnya itu. Tetapi, akhir-akhir ini, cermin itu juga membuatnya marah.
Suatu pagi, lagi-lagi Reina bertanya, “Cermin, cermin di dinding, siapakah yang paling cantik di kota ini?”
Jawaban dari cermin tetap sama. “Kaulah Reina yang tercantik. Sayang, bukan kau yang memiliki hati terbaik.”
Kali ini Reina benar-benar marah. “Mengapa kau selalu berkata begitu?” katanya.
“Reina sayang, lihatlah dirimu. Apakah kau punya sahabat? Itu semua karena tingkah lakumu. Coba kau sedikit bersikap manis pada teman-temanmu, juga pada makhluk lain. Aku yakin, sebenarnya kau tak suka hidup kesepian seperti ini,” jawab cermin panjang lebar.
Reina semakin marah. Ia membanting cermin itu. PRAAANG! Cermin itu jatuh berkeping-keping. Reina lalu menyimpan serpihannya ke dalam kardus, dan menaruhnya di bawah tempat tidurnya.
Aku akan membuangmu jauh-jauh nanti,” katanya kesal.
Kini Reina benar-benar tak punya teman. Hari-harinya bertambah sepi sejak cermin itu tak lagi ada di dinding kamarnya. Reina pun berusaha menghibur dirinya sendiri. Ia berjalan-jalan ke teras rumahnya.
“Aha… semut-semut ini membangun sarang lagi ya? He he… rasakan ini!” katanya sambil mengangkat kaki. Ia siap menginjak sarang semut itu ketika tiba-tiba ia teringat kata-kata si cermin.
“Aku harus bersikap manis? Ah, ini kan cuma semut?” pikirnya.
Reina menghela nafas. Ia akhirnya tak jadi menginjak sarang semut itu. Ia duduk dan memandangi semut-semut yang sedang mengumpulkan makanan.
“Hmmm…. mereka sungguh kompak. Kerja sama yang bagus, gumamnya.
Reina lalu melihat bunga-bunga di sekitarnya. Tangannya terulur hendak memetik kuncup bunga. Tetapi pandangannya lalu teralih pada bunga-bunga lain yang mekar.
“Indah sekali. Kenapa aku baru melihatnya ya?” Reina sadar, ia tak pernah melihat bunga bermekaran karena ia selalu memetiknya saat mereka masih kuncup!
Reina tak jadi memetik kuncup bunga. Ia mengambil gunting dan keranjang. Ia menggunting bunga-bunga yang mekar dan menaruhnya di keranjang.
“Aku akan merangkainya untuk ibu,”katanya senang.
Saat hendak masuk ke rumah, lewatlah Rosa, temannya yang bertubuh gemuk.
“Hai gen… “Reina tak meneruskan kata-katanya. “Hai Rosa, kau mau kemana? Temani aku merangkai bunga, yuk!” sapanya.
Rosa membelalakan matanya, seolah tak percaya.
“Ayo! Aku suka merangkai bunga,”jawab Rosa.
Siang itu, Reina dan Rosa sibuk merangkai bunga. Ibu Reina gembira saat menerima rangkaian bunga itu.
Setelah Rosa pulang, Reina kembali ke kamarnya. Ia pun kembali kesepian. Ia lalu teringat pada serpihan cermin yang belum dibuangnya. Diambilnya kardus tempat ia menyimpan serpihan cermin tadi. Reina berusaha merekatkan pecahan cermin itu. Beberapa jam kemudian, pekerjaan Reina pun selesai. Cermin itu kembali ia gantung di dinding, meskipun tak lagi sempurna.
“Cermin, cermin di dinding, maafkan aku karena telah membantingmu. Rupanya kau benar, sedikit bersikap manis telah membuat hatiku gembira. Hari ini aku belajar banyak hal. Aku baru tahu jika semut itu hewan yang kompak. Aku juga baru tahu kalau Rosa pandai merangkai bunga.”
Cermin diam tak menjawab. Reina sedih. Ia tahu, cermin itu mungkin telah rusak. Cermin itu tak lagi bisa diajaknya bercakap. Reina bertekad, ia tak mau pengorbanan cermin itu sia-sia. Esok, ia akan belajar bersikap manis lagi terhadap semua teman dan makhluk hidup. Esok, dan esok, dan esok, dan selamanya, ia akan bersikap manis.